Kupang, Mensanews.com– Jika publik NTT ditanya, adakah hal yang paling menarik perhatian massa akhir-akhir ini? Pasti ada! Jawabannya:” Layangan Putus.” Ada pula yang menjawab, “Kasus Astrid-Lael.”
Layangan Putus, Astrid dan Lael adalah dua hal yang jauh berbeda. Tetapi mengapa dua hal yang berbeda ini sungguh menyita perhatian publik?
Karena dua hal yang berbeda itu, MEMILIKI PESAN YANG SAMA, yakni KEMANUSIAAN. Karena pesannya tentang kemanusiaan maka, siapapun dia yang peduli akan kemanusiaan, dengan gaya dan caranya, entah sendiri-sendiri atau bersama-sama berteriak untuk menggugat rasa kemanusiaan seseorang untuk bertindak demi dan atas nama kemanusiaan. Bahwa Manusia adalah Mahkota seluruh ciptaan Allah itu, bahwa manusia adalah Gambar dan Rupa Allah itu, bahwa Manusia adalah Citra Allah itu, harus dibela, harus diperlakukan secara manusiawi.
Pertanyaan kita, apakah manusia sungguh sudah diperlakukan secara manusiawi? Sudahkah kita memperlakukan manusia sebagai homo homini socius, manusia sebagai sahabat bagi sesamanya?
Layangan Putus (yang diambil dari kisah nyata), Astrid dan Lael adalah fakta yang tak terbantahkan yang sudah sedang mengirim pesan kepada publik bahwa manusia itu adalah serigala bagi sesamanya. Homo homini lupus. Manusia, dengan caranya tertentu, sedang memamerkan dirinya sebagai dia yang berkuasa atas manusia yang lain. Karena dia merasa berkuasa atas orang lain, dia boleh seenaknya memperlakukan sesamanya menurut kehendaknya: mengkhianati atau bahkan membunuhnya. Maka dengan gampang dia berselingkuh. Dengan mudah dia membagi cinta bersama wanita yang bukan miliknya. Ketika dia sedang memadu kasih dengan selingkuhannya, saat itu pula, hati sang istri sah tergores sembilu. Tersayat dalam kepedihan mendalam. Ia berontak dalam kebisuan. Ia melawan tanpa kata. Ia menantang perilaku keji sang suami dengan derai air mata. Layangan itu, ternyata semakin jauh, pada akhirnya menjauh dari pemilik sahnya. Layangan putus. Pergi membawa luka. Putus membawa perih.
Sedang Astrid dan Lael? Dua raga itu telah kembali ke debu dan tanah. Berpulang ke Ribhaan Kasih Allah tanpa Sang Empunya menggunakan otorita-Nya. Dua nyawa itu begitu mudah melayang pergi. Yang tertinggal adalah nama Astrid dan Lael, Dua Citra Allah yang saban hari dan entahkah sampai kapan nama mereka berhenti disebut. Nama mereka menggema hingga ujung dunia. Nama mereka selalu hadir dalam demo berjilid-jilid. Demo Kemanusiaan. Demo menuntut keadilan untuk ditegakan setegak-tegaknya. Entahkah ini gerakan kemanusiaan berbuah manis atau malah hanya sebuah gerakan panjang yang fatamorganis? Yang tahu jawabannya adalah Penegak Hukum.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.