Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Opini  

SAKTI, Tais Neo Lalek dan PUSPEM Malaka

FOTO KK MANS BARU00

Oleh: Yohanes Berchmans Nahak, S. Fil

Kita akan memperingati Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober. Suatu hari bersejarah yang mengingatkan anak negeri akan masa kelam bangsa atas peristiwa berdarah G30S PKI. Peristiwa penculikan para jenderal itu belum sepenuhnya tenggelam dalam ingatan. Meski, video peristiwa itu tidak wajib dipertontonkan secara terbuka beberapa dekade terakhir. Setahu kita, peristiwa itu terjadi dan ingin merongrong Ideologi Pancasila, tetapi masih menyimpan seribu satu tanya. Apakah demikian? Meski demikian, Pancasila tetap sakti.
Di masa pemerintahan Bupati Malaka, Dr. Simon Nahak, S.H.,M.H dan Wakil Bupati, Louise Lucky Taolin, S.Sos, program pembangunan yang dilaksanakan mengusung tagline SAKTI. SAKTI itu singkatan Swasembada pangan, adat-istiadat, agama, seni dan olahraga, Kualitas, Tata Kelola dan Infrastruktur. Program SAKTI dijalankan dengan melakukan berbagai terobosan dan aksi nyata untuk menghantar masyarakat dan kehidupannya menuju visi, Terwujudnya Kabupaten Malaka Yang Sejahtera, Berbudayaa dan Berdaya Saing.
Catatan refleksi ini mengusung tema, SAKTI, Tais Neo Lalek dan Pusat Pemerintahan (PUSPEM) Malaka tidak bermaksud mengupas tuntas atas dasar kajian dan analisis ilmiah tentang Program SAKTI, mewariskan tradisi berbusana dalam balutan Tais (sarung kain adat) Neo Lalek dan mencermati prospek dan tujuan pembangunan PUSPEM Malaka. Tulisan ini sebatas refleksi yang dituangkan menjelang peletakan batu pertama pembangunan PUSPEM, yang tidak terlepas dari komitmen pelaksanaan Program SAKTI dalam semangat kerja dan spirit membangun Malaka, kini dan di sini.

Tais Neo Lalek identitas kita.

Baca Juga :  JOKOWI KESAL, ULAH MAFIA ANGGARAN SAMPAH PLTSa SULIT TEREALISASI 

Tais Neo Lalek, sebutan nama khasnya, Tais Bere Neke. Ber-Tais (mengenakan kain adat) Bere Neke diminati orang khususnya warga Kabupaten Malaka saat ini. Sebagian besar warganya menyukainya. Entah apa alasannya? Tentu kita tidak tahu alasan masing-masing orang ketika mengenakan Tais Bere Neke. Akan tetapi, tais itu menunjukkan identitas orang Malaka. jika dikenakan, khalayak spontan menyimpulkan salah satu identitas orang Malaka. Orang Malaka punya identitas dan integritas. Identitas ini menunjukkan suatu integritas. Sebaliknya, integritas tidak mengabaikan identitas. Keduanya tidak saling mengesampingkan. Orang Malaka mengenakan kain adat dalam berbagai jenisnya karena berbudaya.
Ber-Tais Neo Lalek telah menjadi brand berbusana adat di Kabupaten Malaka. Beberapa waktu lalu, Bupati Malaka telah menginstrusikan kepada semua aparat sipil negara (ASN) dan para pegawai untuk mengenakan kain adat pada hari Selasa dan Jumat. Instruksi tersebut bisa dipahami sebagai upaya memberi standar pewarisan nilai budaya dan tradisi. Ini wujud pengembangan kebudayaan sebagaimana yang tertuang dalam Program SAKTI. Dengan demikian, keberhasilan program budaya dan adat-istiadat juga dapat diukur melalui standar. Bagaimana mengenakan busana adat, sikap dan berprilaku sesuai adat dan tradisi Sabete Saladi Wesei Wehali?
Tais Bere Neke dikenakan dan menjadi trend berbusana warga Malaka saat ini. Tidak saja dikenakan para pegawai saat berkantor, akan tetapi masyarakat lain dalam berbagai hajatan keluarga dan kehidupan sehari-hari. Para petani yang hendak berkebun juga terlihat mengenakan Tais Neo Lalek. Demikian pun, dalam hajatan keluarga seperti suasana duka karena meninggalnya sanak dan kerabat keluarga, Tais Neo Lalek dikenakan untuk memberi ciri khas turut berbelasungkawa.
Sepintas, Tais Bere Neke memiliki ciri tenunan di antaranya dominan warna hitam, dan variasi warna bergaris lurus pada tepian atas dan bawah. Dalam perkembangannya, terdapat modifikasi warna dominan hitam dengan warna lain seperti biru dan putih. Namun, tidak menghilangkan kekhasan motif dan jenis kain. Karena, Tais Neo Lalek dalam berbagai bentuk tenunan dengan sulaman motifnya digunakan untuk aktivitas rutin sehari-hari, baik di rumah maupun bekerja di kebun. Tais jenis ini dipakai untuk membedakan manfaatnya dengan jenis kain adat lain seperti Tais Marobo yang digunakan saat acara-acara resmi kemasyarakatan. Orang tidak bisa menggunakan Tais Marobo dalam situasi harian dan bekerja di kebun, meski sudah lusuh.

Sumber: MN