Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Overkriminalisasi pada RKUHP, “Komitmen Presiden Jokowi Meningkatkan Kesehatan Reproduksi dan Kesetaraan Gender Dipertanyakan”

Hal lainnya adalah di zaman yang sudah maju ini informasi apa saja sangat bebas diakses oleh anak dan remaja melalui internet. Dengan adanya pembatasan informasi terkait promosi alat kontrasepsi juga dapat berakibat pada tingginya perkawinan anak.

Menurut Ibu Ana Ceunfin, S.ST, M.Kes dari Ikatan Bidan Indonesia (IBI) NTT menyampaikan bahwa di NTT terdapat kesulitan dari tenaga medis untuk menjangkau sampai ke pelosok menjadi pertimbangan yang penting agar pelibatan masyarakat tetap harus dilakukan dalam upaya mengedukasi dan mensosialisasikan berbagai informasi terkait kesehatan reproduksi termasuk alat pencegahan kehamilan kepada masyarakat.

Ketiga, kriminalisasi terhadap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum. RKUHP menuliskan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (satu juta rupiah). Namun unsur penggelandangan tidak dijelaskan secara spesifik, sehingga dapat diinterpretasikan secara luas dan berpotensi overkriminalisasi terhadap kelompok tertentu, seperti musafir, perempuan yang pulang malam dan anak terlantar. Pasal ini tentunya juga bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.

Baca Juga :  Klarifikasi Dan Permintaan Maaf Atas Beredarnya Audio Rasis Di Duga Milik Ketua DPRD

Dengan kata lain ketentuan dalam RKUHP ini bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Ibu Veronika Ata, S.H., M.Hum., dari Lembaga Perlindungan Anak NTT mengatakan bahwa NTT belum ada perda tentang anak jalanan. Namun memperhatikan RKUHP yang ada, ini berpotensi untuk mengkriminasasi anak anak yang berada di jalan sementara UUD 1945 pasal 34 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Sehinga ini menjadi kontraproduktif antara RKUHP dengan UUD 1945.

Keempat, kriminalisasi terhadap setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan (zinah). Sebelumnya, dalam KUHP yang berlaku sekarang, kriminalisasi hanya untuk pihak yang berada dalam perkawinan, namun melalui ketentuan pasal zinah dalam RKUHP, kriminalisasi dapat dilakukan pada persetubuhan di luar perkawinan. Ketentuan tersebut merupakan delik aduan yang hanya dapat diproses atas aduan suami, istri, orang tua atau anak. Namun delik aduan berdasarkan pengaduan orang tua ini malah di sisi lain akan dapat meningkatkan angka perkawinan anak. Sebab, dengan adanya ketentuan tersebut, perkawinan nantinya akan menjadi solusi setiap persetubuhan di luar nikah yang dilakukan oleh anak. Itu dilakukan untuk menghindari agar anak tidak dipidana.

Baca Juga :  Presiden Jokowi Terima Rombongan Amin Rais Bahas Laporan Komnas HAM

Selain itu, ketentuan pasal ini juga terlalu mencampuri ranah privat dan sosial masyarakat.
Bila negara menganggap bahwa perkawinan sah hanya karena telah tercatat melalui pencatatan sipil dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan agama saja maka pasangan yang hidup bersama menurut struktur adat dapat dikriminalisasi. Dalam konteks di NTT banyak pasangan hidup bersama dan tidak dapat mencatatkan pernikahannya di Pencatatan Sipil karena beberapa kewajiban secara adat belum dipenuhi contohnya seperti mahar atau belis yang belum lunas. Karena itu menjadi tidak adil bila pasangan yang menjadi korban dari struktur adat dikriminalisasi.

Baca Juga :  Kunjungi NTT: Aktivis Amppera Desak Kapolri Tuntaskan Kasus Proyek Awololong.

Ibu Yuliana Ndolu, SH, M.Hum., Mengatakan bahwa ketentuan tentang janji kawin, kami sepakati untuk diatur di dalam ketentuan KUHP memberikan ketentuan tentang janji kawin yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 58 belum menjawab rasa keadilan perempuan yang menjadi korban ingkar janji kawin. Data dari Sanggar Suara Perempuan Kabupaten TTS menyatakan bahwa terdapat 158 ​​kasus ingkar janji kawin yang dilakukan pada tahun 2019. (**)