Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Opini  

Paradoks Labuan Bajo Dan Takdir Rakyat Manggarai Barat

Apa implikasi dari pengelolaan konkuren Pulau Komodo? Pada konteks finansial, pengelolaan dan keuntungan dibagi rata Pemerintah Pusat dan Provinsi. Implikasi lanjutannya, tentu saja, terkait penataan tatacara (merumuskan aturan main agar tidak main-main oleh aturan) dan membentuk formula pelembagaan terkait relasi konkurensi yang harus diatur rinci agar di kelak hari tidak menimbulkan kontroversi hukum.  Hal itu niscaya diperlukan karena sejarah relasi power di negeri ini pernah mengalami sejarah kelam. Sejarah kelam dialami bangsa ini tatkala rejim despotic Soeharto membuka lembaran sejarah Orde Baru post Soekarno. Tatkala Soekarno ditumbang paksa oleh komplotan Orde Baru, sejarah pun berbelok arah dengan komando satu arah dan diarahkan menjadi satu komando. Maka rejim sentralistik dimulai hingga tumbang oleh gerakan reformasi anak muda yang dipimpin para mahasiswa 1998. Tetapi, relasi power selalu dibentuk oleh dinamika ekonomi politik structural serta konfigurasi atau koalisi kekuatan sosial di sekitar kepemimpinan politik.

Selain itu, para pihak memang perlu memastikan model pengelolaan lingkungan Pulau Komodo. Maksudnya, agar pulau tempat di mana biawak raksasa ini bersemayam dan seisinya itu, – haruslah tetap  eksis dan lestari.  Jangan memberi nuansa tanpa patuh pada hukum habitasi biawak raksasa ini. Para aktivis lingkungan ajukan protes. Dengan kata lain, pengelolaan Pulau Komodo secara konkuren mesti sensitif terhadap semangat tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals). Pembangunan Pulau Komodo pada galibnya berpulang pada kepentingan manusia, kepentingan rakyat Manggarai Barat dan tentu saja kepentingan manusia  NTT.

Untuk kepentingan itulah, semestinya semua stakeholders wajib diajak untuk ikut urun rembuk. Para pihak mestinya berani menggelar tikar akbar kompromi agar semua hal dibahas terbuka dan berjalan terang benderang di bawah langit biru pulau penuh goda itu.

Hutan Tembok:

Belakangan ini, Labunbajo dipadati hutan tembok. Pembangunan hotel dimulai di sepanjang pantai seolah-olah tidak membiarkan riak gelombang samudra membuih menjilat sendiri bibir pantai berlekuk. Tampak sangat jelas, seperti pagar raksasa menghadang pandangan serentak dengan itu membalut tebing-tebing pantai dengan tembok bangunan. Akibatnya,  jelas. Ruang publik terbatas bahkan dibatasi. Ruang privat ketat ditata. Hotel kelas atas seperti menjamah cakrawala, sedangkan hotel melati, hotel bintang 3 seperti terseok-seok dibangun di kota, tetapi hutan tembok terus  saja kian hari makin bertambah.

Akibat ikutannya sungguh fantastis. Harga tanah melonjak tajam sesuka hati seturut imajinasi pemilik tanah. Di antaranya tanah semeter dijual 3 bahkan 5 juta. Sepanjang tepi selatan barat laut, tanah telah dijual tuntas. Bahkan hingga ke kawasan nun jauh dekat kampung nelayan Warloka. penduduk lokal nantinya hanya bertahan membentengi diri di tengah kepungan hotel dan gerai bisnis rumah makan.

Baca Juga :  Jaga Keutuhan Bangsa, Praktisi Pers: Jangan Sebar Kebencian!

Pemda setempat, maaf saja, terkesan agak kewalahan. Mereka sepertinya  tidak cukup berdaya dan mungkin pula tak cukup punya imajinasi untuk mengatur arus lalu lintas padat modal di tengah kepungan parkiran motor dan mobil tepi jalan sepanjang pantai itu. Crowded.

Menilik siapa gerangan para pemilik hotel, dan siapa pula pembeli tanah di Labuanbajo, terdaftar banyak pemilik lahan baru dari kalangan pengusaha papan atas Jakarta. Di antaranya para pemilik tanah itu adalah anggota DPR RI perwakilan Flores dan Timor Sumba. Daftar kepemilikan tanahnya lumayan tambun, moncer sepanjang usia representasi.

Para pemilik tanah melego tanah mereka dengan harga super tinggi. Hasil jualan tanah, digunakan untuk membangun rumah pribadi layak huni, sehat di mata dan indah di hati. Rumah pun dilengkapi fasilitas garasi transportasi memadai. Lainnya didepositokan di bank lokal dengan suku bunga normatif.

Seiring  isu jual beli tanah itu, krisis duplikasi sertifikat tanah pun muruak ramai.  Kasus duplikasi sertifikat tanah menjadi kasus jamak belakangan ini di Labuanbajo. Para pemain duplikasi sertifikat tanah ditengarai dilakukan pihak petugas di badan pertanahan itu sendiri, aparatur negara, calo tanah dan para pemilik uang calon pembeli. Mereka inilah yang disebut-sebut warga setempat sebagai komplotan “mafia” tanah. Komplotan ini  bermain-main dengan aturan main. Sindikasi tanah beririsan ketat dengan para calo amatir tanah yang menjanjikan kabar baik bagi semua calon pembeli.

Maka Kota Labuanbajo ditaburi pendatang baru. Mereka datang dengan motif berbeda.  Mereka datang selaku calon pembeli tanah, pedagang sayur, pemain travel agency. Sisanya yang lain datang entah untuk menjual jasa tubuh, membagi kehangatan badan dan jasa jenis lainnya yang mengeksploitasi tubuh sebagai komoditi dan property paling murah.

Sementara itu, pasokan sayur mayur datang mengalir dari Ngada, Bima dan Bali. Orang Manggarai sendiri? Mereka lebih gemar memilih sebagai pengkonsumsi aktif dan juga naif. Sipri Hagung, pensiunan pegawai negeri sipil Jawa Timur asal Manggarai Barat mengeluhkan kondisi ini. Kata Sipri, pemerintah (kabupaten maupun provinsi) mesti lekas turun tangan. Katanya, masyarakat Manggarai Barat bakal hanya menjadi penonton pasar di tengah kepungan permainan para tengkulak sayur mayur, monopoli mafia ikan dan buah-buahan. Sipri menganjurkan agar pemerintah (entah kabupaten atau provinsi) perlu melakukan konsolidasi kekuatan rakyat untuk melawan serangan komplotan tengkulak, komprador bisnis dan provokator jalanan. Dia menyarankan pemerintah segera membangun sentra pertanian di Manggarai Barat. Pemerintah, ujar Sipri agak geram, wajib mengendalikan harga ikan, sayur mayur dan buah-buahan. “Pasar tidak boleh dibiarkan tarung bebas di Manggarai Barat,” kata Sipri Hagung, satu dari pejuang politik pembentukan Provinsi Flores. Pasar kata Sipri, tidak lagi hanya dimaknai sebagai pertemuan antara permintaan dan penawaran, melainkan pertempuran antara kekuatan (power).

Baca Juga :  Kisah Sukses Perjalanan Anak Petani Melkianus Lubalu, Matahari Negeri Sandelwood Sinari Nusantara

Dihujani Perhatian:

Pemda Manggarai Barat tak putus-putus dihujani aneka jenis perhatian. Perhatian, tidak saja datang dari pemerintah pusat dan provinsi. Tetapi, Pemda Mabar juga dicermati  dan ditimbang serius  oleh opini kalangan aktivis masyarakat sipil setempat.  Mereka mencermati kebijakan Bupati. Mereka mengoreksi keputusan politik  Bupati Mabar, Edy Endi, terkait rasionalisasi tenaga kontrak daerah. Bahkan para aktivis menuding, konsolidasi kekuatan birokrasi yang dilakukan Bupati Mabar terkait langsung dengan imajinasi dan nuansa politik Pilkada entah yang sudah berlangsung atau untuk skema kemenangan politik yang akan datang. Mereka berdemonstrasi tentang banyak soal. Mereka juga  menyoalkan banyak hal lain antara lain terkait dengan rencana pemboran sumber energy listrik di Sano Nggoang.

Para demonstran  mengusung serumpun tuntutan, juga keluhan. Tuntutan paling keras ialah mendesak Bupati Mabar menghentikan seluruh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber energy di Sano Nggoang. Tetapi, saya usul, apa yang kini sedang dialami Pemda Mabar adalah sejenis perhatian serius. Perhatian rakyat itu patut diletakkan sebagai bagian dari aneka rupa jenis dan bentuk perhatian politik dan awasan kultural. Meski demikian, Pemda Mabar patut menyadari bahwa pihaknya sedang memimpin dan mengendalikan satu kabupaten gelisah (gelinya sah) “internasional”.

Tabiat kultural Labuanbajo mulai melampaui tradisi kultural kabupaten lain di Flores. Di satu pihak telah terjadi perubahan rona fisik Labuanbajo. Tetapi, di sisi lain perubahan spektakuler itu membawa serta krisis relasi antarmanusia dan entitas sosial politik di sana.

Wajah kumuh rumah-rumah gubuk di deretan tepi pantai yang pernah saya tulis dan lihat tahun 1989, kini telah total bersalin rupa. Pelabuhan laut Labuanbajo dirombak total, ditata apik menjadi elok. Di tepi, pelabuhan berdiri kokoh Hotel Meruorah milik BUMN berderetan dengan sejumlah gerai bisnis yang memadati tepi pantai itu.

Baca Juga :  Lewo soron lodo tanah tapin balik gelekat lewotanah

Dalam sejarahnya, rumah-rumah para penduduk di sepanjang pesisir pantai itu adalah pondok  singgah atau naungan mengaso bagi para pelancong atau para nelayan. Awalnya, para nelayan atau pelancong ini hanya membangun lapak-lapak kecil berdaun lontar atau daun pohon aren.  Lapak-lapak itu hanya  berfungsi sebagai pelindung diri atau tempat bernaung agar terhindar dari serangan sengatan matahari.

Jika kini ibukota Kabupaten Manggarai Barat itu bernama Labuanbajo, tentulah tidak terlepas dari sejarah okupasi para pelancong dan nelayan. Di pesisir pantai, terutama di wilayah pelabuhan itu, dulunya hanya tempat para pelaut dan nelayan Bajo berlabuh dan mengaso. Mereka berlabuh untuk apa? Mereka berlabuh untuk mengambil air tawar di Pulau Flores. Orang Bajo datang dari mana? Orang Bajo datang dari pulau-pulau sekitar. Mereka adalah para nelayan pencari ikan. Satu diantaranya, adalah manusia-manusia Bajo penghuni Pulau Mesa (mesa dalam bahasa lokal berarti hilang karena saat air laut pasang naik, pulau mungil itu tidak lagi tampak dari Pulau Flores). Orang Bajo mengaso rutin di pesisir tepi pantai itu. Lambat laun orang menyebut tempat di mana orang Bajo sering mengaso sebagai tempat orang Bajo berlabuh. Demi gampangnya, orang menyebut Labuanbajo.

Penduduk asli Flores jarang tinggal di daerah pesisir. Perihal berlabuhnya manusia Bajo di situ, tidak ada seorang pun yang ribut kala itu. Maka okupansi nomaden pantai lambat laun menjadi menetap lalu diklaim sebagai milik pribadi. Klaim diperkuat dengan bukti-bukti hukum negara dengan selembar sertifikat.

Kini Labuanbajo tak hanya menjadi pusat perhatian Pemerintah Pusat dan Provinsi, tetapi juga telah menjadi pusat perhatian dunia. Bagaimana tidak. Dua pertemuan internasional bakal digelar di Labuanbajo. Labuanbajo membukukan dirinya sebagai tempat pertemuan ASEAN Summit dan G-20. Artinya, Labuanbajo kian dikukuhkan menjadi lokasi yang layak dan pantas untuk pertemuan sepenting ini di skala global. Pemerintah Pusat, mengukuhkan Labuanbajo sebagai destinasi superprioritas. Di Indonesia, destinasi jenis ini amatlah langka.

Pertanyaan tersisa ialah ini: apa kiranya yang diperoleh rakyat Manggarai Barat dari derap langkah perubahan Labuanbajo? Bagaimana elemen kekuatan sosial politik dan pembangunan di sana mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal? Siapakah gerangan kiranya yang pertama wajib memberikan perhatian serius? Sejumput pertanyaan itu tak sekadar dibaca sebagai teks, tetapi dilihat sebagai konteks.