Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Opini  

*“JANGAN-JANGAN…..!”*

Yang dimaksudkan dengan TEKS adalah suatu bangunan bahasa yang terbentuk dari satuan kata dan kalimat. Bangunan bahasa ini mengungkapkan pikiran, perasaan, dan kemauan si penutur. Satuan kata dan kalimat itu membentuk suatu narasi yang mengungkapkan suatu makna, baik makna tersurat-leksikal maupun makna tersirat-kiasan-metaforis. Sementara KONTEKS adalah aspek-aspek internal dari TEKS dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah TEKS.

Atas dasar ini, saya coba mengurai kata berulang “jangan-jangan…” yang dimaknai Prof. SSO sebagai suatu ‘dugaan’, dan karena itu tidak mengandung ‘unsur tuduhan’ di dalamnya.

Kata berulang “jangan-jangan” dalam frasa “…..jangan-jangan Bupati Malaka Simon Nahak sudah masuk angin rumah badai siklon tropis seroja” adalah TEKS, bangunan bahasa dari si penutur. Oleh Prof. SSO kata berulang ini dipandang identik dengan dan/atau dimaknai sebagai ‘dugaan’,dan karena itu tidak mengandung ‘unsur tuduhan’ di dalamnya. Memang betul sekali makna leksikal-leterlek-harfiah Prof. SSO itu, namun menurut saya dalam konteks kasus ini, makna leksikal itu tidak cukup dan tidak lengkap menggambarkan seluruh isi dan makna yang terkandung di dalamnya.

Bila benar bahwa bahasa adalah ungkapan pikiran, perasaan, dan kehendak penutur, di dalam RUANG dan WAKTU, maka ungkapan “jangan-jangan ….” tidak cukup, dan karena itu. tidak boleh, hanya diteropong secara leterlek-harfiah sebagai dugaan dan tidak mengandung ‘unsur tuduhan’. Memaknai suatu TEKS tidak boleh separuh-separuh. Seluruh KONTEKS yang melingkupi TEKS itu, atau yang turut-serta melahirkan TEKS itu, harus dipertimbangkan. Mengapa penting dipertimbangkan? Karena pada hakikatnya TEKS lahir dari dan dalam suatu KONTEKS sehingga tidak mungkin TEKS dimaknai terlepas sepenuhnya dari KONTEKS. Di dalam KONTEKS, sebuah TEKS mendapatkan maknanya yang penuh, utuh, bulat dan lengkap. Kepenuhan makna kata berulang “jangan-jangan ….” akan tampak dengan mempertimbangkan KONTEKS-nya. Salah satu KONTEKS-nya itu adalah WAKTU: dalam kesempatan apa, suasana dan keadaan apa, kata itu tersembur keluar dari mulut si penutur. Bahasa yang sama diungkapkan pada konteks waktu yang berbeda akan berbeda pula maknanya.

Baca Juga :  Twitter Karni Ilyas Presiden ILC Dijadikan Bukti Sengketa Pemilu

Pertanyaannya ialah “Manakah KONTEKS dari ucapan “jangan-jangan….” itu?”

Menurut saya, melihat dari ISI-nya, lebih-lebih dari identitas diri si penutur, konteks dasar dari ungkapan itu adalah konteks POLITIK. Tidak mungkin melenceng. Konteks politik ini dikemas di dalam ‘ruang dan waktu khusus’, waktu yang resmi, yang dirancang dengan sadar oleh si penutur atau dibiarkan terjadi oleh si penutur, dalam bentuk suatu ‘temu-wartawan’ untuk maksud ‘rilis pers’ (‘press release’).

Saya memperkirakan bahwa di dalam temu wartawan itu tidak ada wartawan yang terpingkal-pingkal tertawa lepas karena sedang menyaksikan dan mendengar lelucon seorang pelawak. Bayangan saya, mereka semua, para wartawan, berada dalam suasana serius mendengarkan si penutur berbicara dari A sampai Z tentang masalah pembangunan rumah bantuan badai tropis Seroja yang sarat masalah.

Baca Juga :  Sidak VS Joki Ala Kabupaten Kupang

Secara leterlek-harfiah, Prof. SSO membacanya sekedar sebagai suatu ‘dugaan’ dan tidak ada unsur tuduhan di dalamnya. Namun degan mempertimbangkan seluruh KONTEKS dari TEKS “jangan-jangan…” itu, saya condong menilai ucapan itu sebagai ucapan penuh ‘kecurigaan’ terhadap Bupati Simon Nahak, kecurigaan mana secara implisit mengandung makna ‘tuduhan’, yang dikemas dengan bahasa bersayap “jangan-jangan…”.

Dari ucapan yang beraroma ‘curiga’ itu, saya menilai ucapan “….jangan-jangan bupati Malaka sudah MASUK ANGIN badai tropis Seroja” itu mengandung makna “telah diperdaya”. Oleh siapa? Oleh Kepala Pelaksana BPBD. Makna “telah diperdaya” ini tercermin di dalam kata-kata si penutur sendiri, yaitu “bupati diam saja” alias “tidak mengambil tindakan tegas apa pun” terhadap Kepala Pelaksana BPBD itu, entah sekedar berupa teguran atau berupa “pencopotan dari jabatan”. Ungkapan “MASUK ANGIN” yang saya maknai sebagai “telah diperdaya” itu punya macam-macam bentuk, antara lain “sudah terima SOGOKAN, SUAP dan GRATIFIKASI” yang semuanya masuk dalam kategori jenis-jenis ‘KORUPSI’, yang umumnya dipahami sebagai perbuatan BUSUK seperti misalnya penggelapan uang, terima sogok atau suap dan gratifikasi. Perbuatan seperti ini, bagi seorang pejabat negara seperti bupati merupakan penyalahgunaan jabatan atau kekuasaaan.

Baca Juga :  Ketawa Bareng Ganjar, Gigi Palsu Ngasipah Sampai Mau Copot

Dengan memperhatikan KONTEKS dari TEKS “…jangan-jangan…” di atas, maka menurut saya, TEKS itu tidak sekedar bermakna “dugaan” dan karena itu “tidak masuk UNSUR TUDUHAN” sebagaimana dikatakan Prof. SSO. TEKS itu, menurut saya, mengandung “unsur tuduhan”, meskipun bersifat tidak langsung karena dikemas dengan bahasa bersayap “jangan-jangan…”.

Bila analisis saya ini benar adanya, maka dapat dipahami jika Bupati Simon Nahak menganggap ucapan si penutur “telah mencemarkan nama baiknya”.

Tampaknya Bupati Simon Nahak mempunyai pengertian yang sama dengan apa yang saya katakan di atas sehingga beliau segera bereaksi dan bersikap tegas “melaporkan si penutur” ke aparat penegak hukum, karena ucapan itu, oleh Bupati Simon Nahak “telah mencemarkan nama baiknya”.

Ucapan telah lacur disemburkan, dan laporan juga telah lacur dilayangkan. Apa hasilnya, masih gelap gulita. Saya hanya bisa berkata : “LANJUTKAN!” Masyarakat Malaka menunggu.***